INFO

Indonesia Krisis Dokter Gigi, Ini Kata Dosen FKG Umsida

20 April 2025

Dosen FKG Umsida, drg Dwi Wahyu Indrawati.(Dok.Umsida)

Gigisehat - Indonesia tengah menghadapi krisis serius dalam bidang kesehatan gigi. Distribusi dokter gigi yang tidak merata, terutama di daerah terpencil dan wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), menyebabkan jutaan masyarakat kesulitan mengakses layanan medis gigi yang aman dan berkualitas.

Dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (FKG Umsida), drg Dwi Wahyu Indrawati, SH, MKes, SpPerio, menyebut hanya sekitar 73% Puskesmas di Indonesia yang memiliki dokter gigi.

Ini mencerminkan adanya kesenjangan distribusi yang sangat tajam dalam layanan kesehatan gigi.

"Tidak hanya soal jumlah, tetapi juga soal ketimpangan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan gigi yang berkualitas,” ujar drg. Dwi yang juga aktif di Ikatan Periodonsia Indonesia.

Baca Juga: 20 Fakultas Kedokteran Gigi Terbaik di Indonesia Bisa Jadi Pilihan

Rendahnya Kesadaran, Minimnya Edukasi

Selain masalah distribusi tenaga medis, kesadaran masyarakat terhadap pentingnya menjaga kesehatan gigi juga masih rendah.

Menurut drg Dwi, banyak orang menganggap sakit gigi sebagai hal sepele. Padahal, infeksi pada gigi dan mulut bisa berdampak pada kesehatan tubuh secara menyeluruh.

“Banyak yang menganggap sakit gigi sebagai hal biasa dan baru datang berobat ketika kondisinya sudah parah,” ungkapnya.

Dalam upaya mencari solusi cepat, muncul wacana untuk melibatkan tukang gigi dalam menanggulangi krisis ini.

Namun, drg Dwi menegaskan, langkah ini harus dikaji dengan sangat hati-hati.

Kalau yang dimaksud pelatihan bagi Terapis Gigi dan Mulut (TGM) yang sudah punya pendidikan formal, bisa didukung.

Tapi kalau mengarah pada tukang gigi tanpa dasar medis akan sangat berisiko.

Menurutnya, tukang gigi tidak diakui sebagai tenaga kesehatan dalam sistem resmi, dan tidak memiliki kompetensi klinis untuk melakukan tindakan medis.

“Kita tidak bisa menjadikan masalah krisis dokter gigi sebagai pembenaran untuk memberikan pelayanan oleh pihak yang tidak kompeten,” kata drg. Dwi yang saat ini sedang menempuh pendidikan doktoral di FKG Universitas Airlangga.

Sebagaimana diatur dalam regulasi, tukang gigi hanya diizinkan membuat dan memasang gigi tiruan lepasan sederhana, itupun harus di bawah pengawasan.

Mereka tidak boleh melakukan tindakan medis seperti pencabutan atau penambalan.

Strategi Jangka Panjang: Bangun dari Akar

Ketimbang memilih jalan pintas, drg Dwi menyarankan agar pemerintah dan institusi pendidikan bekerja sama dalam menciptakan solusi jangka panjang.

Beberapa usulan strategisnya antara lain:

- Meningkatkan jumlah dan kapasitas Fakultas Kedokteran Gigi di Indonesia.

- Memberikan beasiswa afirmatif bagi putra daerah agar mereka bisa kembali mengabdi di wilayah asal.

- Program penugasan khusus dengan insentif menarik untuk mendorong dokter gigi bersedia bertugas di daerah terpencil.

- Percepatan distribusi dan kuota internship bagi dokter gigi baru.

- Pemanfaatan telemedicine dan sistem rujukan digital untuk menjangkau wilayah yang jauh dari pusat layanan.

- Kolaborasi dengan TGM dan tenaga kesehatan lain, dengan batasan yang jelas dan berbasis regulasi.

Baca Juga: Peneliti Jepang Temukan Obat Bantu Tumbuhkan Kembali Gigi

Peran Institusi Pendidikan: Kunci Masa Depan

Menurutnya, perguruan tinggi harus berperan aktif, bukan hanya mencetak lulusan, tapi juga menguatkan pengabdian masyarakat dan edukasi berbasis komunitas.

“Kami di FKG harus hadir lebih dekat dengan masyarakat, lewat puskesmas, sekolah-sekolah, atau kegiatan kampus. Mahasiswa juga harus dibekali kemampuan komunikasi yang kuat agar bisa menjadi agen perubahan,” pungkasnya.***

Sumber:umsida.ac.id

REGISTER

Register

Data Diri

Nama
Email
Password
Universitas
Semester
Tempat / Tgl Lahir
Jenis Kelamin
No KTP
Alamat
No telepon / HP