INFO
MK Tolak Permohonan Uji Materiil Aturan Kewenangan MKDKI
01 February 2023
Gigisehat - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materiil aturan kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran).
Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 119/PUU-XX/2022 digelar di Ruang Sidang Pleno MK, Selasa 31 Januari 2023.
“Amar putusan menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua Pleno Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih membacakan pertimbangan hukum Mahkamah atas permohonan yang diajukan Gede Eka Rusdi Antara dan empat Pemohon lainnya.
Saldi menyebutkan penegakan disiplin dokter dan dokter gigi yang dilakukan MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat (pasien), menjaga dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, serta menjaga kehormatan profesi kedokteran dan kedokteran gigi.
Kendati MKDKI bertanggung jawab kepada KKI namun agar dapat memberikan perlindungan pada masyarakat, maka MKDKI dalam menjalankan tugasnya tidak dapat dipengaruhi siapapun atau lembaga lainnya.
Berkenaan dengan hal ini, Saldi menyebutkan terhadap kata “menteri” pada Pasal 60 UU Praktik Kedokteran ini, MK menggutip kembali Putusan MK Nomor 82/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK Nomor 80/PUU-XVI/2018 yang di dalamnya telah menjelaskan tugas dan fungsi KKI, yaitu sebagai pembuat regulasi dan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis.
Karena itu, sambung Saldi, apabila KKI selaku pembuat regulasi dan pembina anggota profesi kemudian menetapkan anggota MKDKI sebagaimana dimohonkan para Pemohon berpotensi menimbulkan konflik.
Di satu sisi, KKI memiliki tugas membuat regulasi berkaitan dengan standar profesi. Di sisi lain, KKI juga mengangkat anggota MKDKI dengan memastikan standar profesi yang dibuat KKI telah dilaksanakan dengan benar.
Selain itu, MKDKI juga bertugas mengadili pelanggaran disiplin yang dilakukan anggota profesi. Sehingga, untuk menghindari adanya konflik kepentingan antara tugas dan fungsi KKI dan tidak terjadinya contradictio in terminis jika KKI sekaligus juga mengangkat anggota MKDKI, maka pembentuk Undang-undang menyatakan dalam menetapkan anggota MKDKI dilakukan Menteri dengan pertimbangan usulan dari organisasi profesi telah sesuai dengan amanat Pasal 60 UU Praktik Kedokteran.
“Dengan ditetapkannya anggota MKDKI oleh menteri atas usul organisasi profesi yang harus ditempatkan dalam bagian dari penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaktubkan dalam Konsideran Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, maka menteri yang dimaksudkan dalam Pasal 60 UU Praktik Kedokteran yakni menteri yang menyelenggarakan urusan bidang kesehatan," kata Saldi.
Dengan demikian, secara konstitusional, sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, pelaksanaan urusan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari posisi menteri sebagai pembantu presiden.
Meski demikian, dalam menetapkan anggota MKDKI, menteri bertindak berdasarkan atas usulan organisasi profesi. Artinya, menteri tidak dapat menggunakan kekuasaan dan kewenangannya untuk menetapkan anggota MKDKI secara sepihak selain dari usulan organisasi profesi,” sebut Saldi.
Prosedur Profesi Kedokteran
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny membacakan pertimbangan hukum Mahkamah terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan frasa “mengikat dokter, dokter gigi dan Konsil Kedokteran Indonesia” dalam norma Pasal 69 ayat (1) UU Praktik Kedokteran apabila tidak dimaknai “bersifat rekomendasi dan mengikat dokter, dokter gigi setelah mendapatkan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia, serta tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan gugatan perdata ataupun pidana” adalah inkonstitusional.
Mahkamah berpendapat melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XII/2014 yang intinya menyatakan profesi dokter berkait dengan manusia, baik tubuh maupun nyawanya, sehingga ia pun dituntut untuk melakukan kegiatan praktik kedokteran dengan hati-hati dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam Penjelasan Pasal 55 ayat (1) UU Praktik Kedokteran.
Senada dengan ini, MK menjawab pula pertanyaan tentang putusan penegakan disiplin kedokteran yang kemudian tidak dapat dijadikan rujukan atau dasar mengajukan perkara perdata atau perkara pidana sebagaimana yang dialami Pemohon.
Mahkamah kembali merujuk pada Putusan MK Nomor 14/PUU-XII/2014 yang menyebutkan proses pengadilan, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata selama terkait dengan tindakan profesi kedokteran harus dilakukan dalam lingkup profesi kedokteran.
Dengan kata lain, standar penilaian terhadap tindakan/asuhan dokter dan dokter gigi tidak boleh semata-mata dilihat dari kacamata KUHP, tetapi harus didasarkan pada standar disiplin profesi kedokteran yang disusun oleh lembaga resmi yang ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan.
Perlindungan Hak Pasien dan Dokter
Lebih lanjut Enny mengatakan, sehubungan dengan ketentuan pelaporan secara pidana atau perdata atas suatu perkara pendisiplinan dokter ini tetap diperlukan. Sebab hal ini berkaitan pula dengan perlindungan terhadap hak-hak pasien dari tindakan dokter atau dokter gigi yang berada di luar cakupan disiplin profesi kedokteran.
Apabila tindakan dokter dinyatakan oleh MKDKI melanggar disiplin profesi kedokteran tersebut menimbulkan kerugian pada pasien, dokter yang telah diperiksa oleh MKDKI tersebut tetap dapat digugat atau dipersoalkan di pengadilan, baik perdata maupun pidana.
Ditekankan Enny bahwa diberlakukannya UU Kedokteran ini guna melindungi masyarakat, baik pasien sebagai pengguna layanan kesehatan maupun dokter dan dokter gigi sebagai pemberi layanan. Oleh karenanya, norma yang diatur dalam UU Kedokteran tersebut tidak hanya memberikan perlindungan terhadap pasien, tetapi juga perlindungan hak konstitusional terhadap dokter dan dokter gigi.
“Jika Mahkamah mengikuti substansi yang dimohonkan oleh para Pemohon, maka tujuan dari pembentukan UU Kedokteran dan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 tidak akan tercapai. Dengan demikian, dalil para Pemohon mengenai Pasal 69 UU Praktik Kedokteran bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum,” pungkas Enny.***