INFO
Bakteri Mulut Bisa Bantu Deteksi Autisme dengan Akurasi 81 Persen
10 April 2025

Gigisehat - Sebuah studi baru telah mengidentifikasi hubungan kuat antara mikrobiota mulut dan gangguan spektrum autisme (ASD) dan mengungkap 11 spesies bakteri yang berpotensi sebagai biomarker.
Dengan menganalisis sampel mulut dari anak-anak berusia 3–6 tahun, para peneliti mengembangkan model prediksi yang mengidentifikasi autisme dengan akurasi 81%.
Metode sederhana dan non-invasif ini memungkinkan deteksi dini ASD melalui kunjungan gigi rutin.
Temuan ini dapat merevolusi skrining autisme dengan menawarkan pelengkap biologis untuk metode berbasis observasi tradisional.
Tim peneliti lintas disiplin dari Fakultas Kedokteran Gigi dan Departemen Psikologi Universitas Hong Kong (HKU) menemukan hubungan antara mikrobiota oral dan gangguan spektrum autisme (ASD).
Penelitian mereka yang dipublikasikan di Journal of Dentistry memperkenalkan model prediksi dengan tingkat akurasi 81%. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi anak-anak dengan autisme melalui pengambilan sampel oral sederhana.
Baca Juga: 20 Fakultas Kedokteran Gigi Terbaik di Indonesia Bisa Jadi Pilihan
Analisis mereka mengungkap perbedaan signifikan dalam komunitas bakteri, dengan 11 spesies bakteri tertentu menunjukkan potensi yang sangat kuat sebagai biomarker untuk ASD.
ASD adalah kondisi perkembangan saraf seumur hidup yang ditandai dengan kesulitan komunikasi sosial, serta perilaku dan minat yang terbatas dan berulang.
ASD telah muncul sebagai tantangan kesehatan masyarakat global yang kritis, dengan tingkat prevalensi terus meningkat – mempengaruhi 1 dari 36 anak di Amerika Serikat dan sekitar 1 dari 49 anak dalam sistem pendidikan Hong Kong.
Identifikasi dan intervensi dini untuk ASD sangat penting, tetapi diagnosis biasanya terjadi sekitar usia 5 tahun, dengan kasus lebih ringan.
Metode skrining saat ini sangat bergantung pada pengamatan subjektif guru dan pengasuh, dengan akurasi bervariasi berdasarkan pemahaman pengamat tentang ASD.
Penelitian yang muncul menyoroti biomarker mikrobioma sebagai alat skrining objektif untuk meningkatkan deteksi dini dan memungkinkan intervensi tepat waktu selama tahap perkembangan kritis.
Penelitian sebelumnya menunjukkan, mikrobioma usus dan mulut berperan penting dalam peradangan, disfungsi imun, dan gangguan sumbu otak-usus, yang semuanya terkait dengan ASD.
Karena pencernaan dimulai di mulut, menganalisis bakteri mulut dapat membantu identifikasi autisme dini.
Meskipun hubungan mikrobiota usus dengan autisme telah dieksplorasi, penelitian tentang mikrobiota mulut masih terbatas.
Mengingat hal ini, tim peneliti lintas disiplin dibentuk untuk mengeksplorasi perbedaan mikrobiota mulut antara anak-anak dengan ASD dan anak-anak neurotipikal.
Tim peneliti terdiri dari Profesor Cynthia Kar Yung Yiu, Associate Professor Rory Munro Watt dari Fakultas Kedokteran Gigi HKU, Dr Charles Cheuk-fung Hau dan Senior Technical Officer Mr Raymond Wai-man Tong, Dosen Senior dan kandidat PhD Jacqueline Wai-yan Tang serta Associate Professor Kathy Kar-man Shum dari Departemen Psikologi.
Tim peneliti memeriksa sampel bakteri mulut dari 25 anak dengan autisme dan 30 anak neurotipikal berusia 3-6 tahun.
Analisis mereka mengungkapkan, perbedaan signifikan dalam komunitas bakteri, dengan 11 spesies bakteri spesifik menunjukkan potensi yang sangat kuat sebagai biomarker untuk ASD.
Berdasarkan temuan tersebut, tim mengembangkan model prediksi dengan tingkat akurasi 81% untuk mengidentifikasi anak dengan autisme.
Inovasi ini membuka jalan bagi alat skrining sederhana dan non-invasif yang dapat diintegrasikan ke dalam pemeriksaan gigi rutin untuk anak, sehingga memungkinkan rujukan awal untuk evaluasi profesional.
Baca Juga: Peneliti Jepang Temukan Obat Bantu Tumbuhkan Kembali Gigi
Kolaborasi inovatif ini memberikan landasan dalam mengembangkan alat skrining praktis dan non-invasif untuk melengkapi metode yang ada.
Fase studi berikutnya akan memperluas ukuran sampel untuk lebih memvalidasi dan menyempurnakan teknologi inovatif ini, dengan tujuan akhir membuatnya dapat diakses secara luas.***
Sumber:neurosciencenews.com